Singaraja, Laksara.id – Kisruh rebutan tanah negara yang terjadi di Desa Pancasari, Kecamatan Sukasada, Kabupaten Buleleng antara warga dan PT SBH, akhirnya dimediasi oleh Pemerintah Kabupaten Buleleng melalui Dinas Perumahan, Kawasan Permukiman, dan Pertanahan (Perkimta).
Hasilnya, kedua belah pihak sepakat untuk mencabut plang yang terpasang di sana untuk sementara waktu. Mediasi ini berlangsung di Kantor Dinas Perkimta Buleleng di Jalan Teleng Nomor 1 Singaraja pada Senin (6/1/2025) pukul 13.00 WITA. Hadir di sana, selain perwakilan dari kedua belah pihak yang diwakili oleh para kuasa hukum, juga tampak unsur dari Polres dan Kejaksaan Negeri Buleleng.
Kepala Dinas Perkimta Buleleng, Ni Nyoman Surattini, mengaku pihaknya hanya berfungsi sebagai mediator, agar permasalahan yang terjadi antara warga dan perusahaan tersebut tidak meruncing dan melebar. “Kami hanya memediasi, selanjutnya itu memang kewenangan Badan Pertanahan Negara (BPN). Untuk sementara, plang yang ada di sana dicabut dulu, sambil menunggu BPN untuk mengumpulkan data, karena statusnya masih tanah negara,”.
Sementara itu, Asep Jumarsa selaku kuasa hukum PT SBH menjelaskan bahwa pihaknya sudah mengajukan perpanjangan Hak Guna Bangunan (HGB) sejak tahun 2012, setelah masa berlakunya hak tersebut berakhir.
“Kami terima kesimpulan dari mediasi tadi, untuk mencabut plang. Akan kami sampaikan ke manajemen (klien). Plang sudah terpasang sejak tahun 2023,” ujar Asep. Ia mengungkapkan bahwa PT SBH berencana membangun agrowisata di areal yang kini menjadi sengketa, apabila diberikan kembali kepercayaan untuk memperoleh HGB oleh BPN.
Pihaknya juga yakin BPN Buleleng akan memberikan kembali HGB kepada mereka, sebab berdasarkan PP Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah, pengelola lama akan mendapatkan prioritas dibandingkan pemohon lainnya.
“Sesuai Pasal 37 dalam PP tersebut, pemegang hak lama memiliki hak prioritas untuk mengajukan HGB. Tanah ini adalah tanah negara bekas HGB, kami sedang mengajukan permohonan,” tambahnya.
Di lain pihak, kuasa hukum warga, Komang Sutrisna, juga setuju dengan hasil mediasi, yaitu pencabutan plang yang terpasang di tanah tersebut. Plang tersebut diketahui dipasang oleh PT SBH dan bertuliskan “Tanah Ini Milik PT Sarana Buana Handara.”
Katanya, terpasangnya plang tersebut membuat warga menjadi resah, yang berujung pada somasi terhadap warga yang diminta untuk pergi dalam jangka waktu 7×24 jam. Padahal, warga sudah tinggal di sana lebih dari 20 tahun.
Bahkan, warga di sana dituduh sebagai penyerobot tanah, seperti yang tertuang dalam Pasal 385 KUHP tentang Tindak Pidana Penyerobotan Tanah, karena dianggap sebagai orang yang tidak berhak atas tanah negara.
Padahal, menurut Sutrisna, warga yang ada di sana juga berhak mengajukan dan mendapatkan tanah tersebut, dengan tujuan untuk bertani dan menjaga hulu Buleleng. Apalagi, tidak ada bangunan permanen yang dibangun oleh warga. Dengan kata lain, masyarakat sudah menjaga ketertiban dan ketentraman.
“Benar, plang itu harus diturunkan, saya setuju. Karena tidak sesuai dengan fakta, karena status tanah masih tanah negara. Plang mereka membuat masyarakat resah,” tegasnya.
Meski begitu, pihaknya mempertanyakan status quo tanah tersebut, karena status tersebut hanya bisa dikeluarkan oleh pengadilan melalui putusan sela. Apalagi, tidak ada konflik atau gugatan pengadilan yang tembusannya ke BPN Buleleng.
“Kami pertanyakan status quo itu. Sekarang masih status tanah negara, kalau ada konflik, baru status quo,” heran Sutrisna. (LA-IN)