Buleleng, LAKSARA.ID – Seperti bola salju, pemberitaan tentang kasus bocah perempuan di Tejakula, Buleleng, belakangan terus menjadi perbincangan panas di media sosial dan masyarakat.
Heboh pemberitaan tentang beredarnya video seorang bocah perempuan (12 tahun) asal Tejakula, Buleleng, yang melakukan perbuatan asusila yang dilakukan bergilir antara empat teman pria di bawah umur yang disebut-sebut atas dasar suka sama suka dan ada unsur dibayar, membuat advokat sekaligus pemerhati perempuan dan anak Siti Safura mengeluarkan statemen keras ketika diwawancarai awak media.
“Ada bahasa Kapolres Buleleng bahwa kasus ini terjadi atas dasar suka sama suka dan ada uang, ini yang mengusik saya. Jadi saya ingin memberikan statemen sebagai masukan. Pertama, saya ingin mohon maaf dulu kepada Kapolres Buleleng, tidak mengurangi rasa hormat, saya tidak bermaksud menggurui di sini. Tolong Bapak cabut dulu kalimat atas dasar suka sama suka, itu yang kesatu,” ujar advokat yang akrab dipanggil dengan nama Ipung, Kamis (16/12/2021).
Menurut Ipung, kalimat atas dasar suka sama suka itu akan menyakitkan banyak perempuan atau keluarga korban. “Kita buang dulu ukuran anak. Itu ada indikasi pesan yang Bapak sampaikan kepada masyarakat tidak menjadi edukasi yang baik, tapi menjadi stigma negatif. Bahwa jika atas dasar suka sama suka, perbuatan cabul atau asusila di bawah umur, boleh dilakukan. Itu tolong cabut ya, Bapak. Terus yang kedua, saya ingin Bapak mencabut kalimat satu lagi, yakni kasus ini terjadi dengan ada bayaran. Mohon Bapak … ini dicabut juga. Dalam perbuatan cabul atau persetubuhan anak di bawah umur, tidak ada istilah bayar berbayar. Dan tidak ada istilah pembenar apapun untuk tidak menindaklanjuti,” tegasnya.
Dia melanjutkan, dalam UU NO. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak diatur beberapa hal. Jika anak pelaku (anak berhadapan dengan hukum, kategori 0 hari – 18 tahun) atau anak korban berbuat pidana antara 0 hari – 12 tahun, tindakan ini tidak bisa diproses secara hukum oleh kepolisian. Namun, anak pelaku bisa diserahkan pada orang tuanya jika orang tuanya masih sanggup dan mampu mendidiknya, mengasuh dan melindungi anaknya, disertai keharusan ada surat pernyataan di atas materai.
Akan tetapi, jika orang tuanya sudah mengakui tidak sanggup, maka negara harus hadir di sini melalui Bapas, UPTD, P2TP2A se-Indonesia, serta Dinas Sosia Kota/Provinsi. Lembaga inilah yang harus turun mewakili negara yang punya tanggung jawab untuk menyelamatkan anak-anak Indonesia. “Jadi saat itu kasus harus dihentikan, tapi diserahkan kepada negara,” kata Ipung.
Jika anak pelaku umur 12-14 tahun, lanjut Ipung, proses hukum harus tetap dilanjutkan namun tidak bisa dilakukan pidana badan dan persidangannya harus mengacu pada UU No 11 tahun 2012 yaitu Sistem Peradilan Pidana Anak. Takni: majelis hakim tidak boleh memakai toga, jaksa tidak boleh memakai seragam toga, serta penasihat hukum tidak boleh memakai toga, dan pengadilan dilakukan secara tertutup untuk umum. Namun karena anak pelaku tidak bisa dipidana badan, jadi di sini harus diserahkan kepada orang tuanya, di mana orang tuanya harus bersaksi di depan ruang sidang, mengatakan dia bersedia mendidik, mengasuh dan melindungi dan tidak mengulangi perbuatan pidana lainnya atau perbuatan yang sama. Pernyataan harus dibuat tertulis dengan di atas materai. Selanjutnya, hakim bisa menyerahkan kepada orang tuanya sesuai penetapan hakim.
“Namun jika orang tuanya tidak bersedia atau tidak sanggup, maka negara hadir di sini melalui Dinas Sosial, UPTD dan P2TP2A. Inilah mewakili negara melakukan pengawasan selama 6 bulan. Apabila rang tua tidak sanggup, bisa diserahkan pada LP Anak, jika di Bali berada di Karangasem. Tapi tetap di bawah pengawasan Dinas Sosial, UPTD, atau T2TP2A. Jika anak pelaku berumur 14 tahun plus 1 hari sampai 18 tahun, proses hukum boleh ditindaklanjuti dan dipidana badan, namun tidak boleh diancam pidana sepenuhnya. Artinya, setengah dari hukuman orang dewasa, serta dihukum di LP Anak.
Kembali menyoal kasus di Tejakula, Buleleng, maka Ipung menekankan hendaknya jangan mengatakan atas dasar suka sama suka, dan korban diberi uang, lantas proses hukumnya dihentikan. Demi penyelamatan anak-anak di bawah umur, kepentingan terbaik anak, dan demi anak sebagai generasi bangsa, ini harus dilanjutkan. Karena ada anak di sana yang bisa dihukum pidana badan. Kalau ada anak dihukum pidana badan, pendidikan formalnya tidak bisa dihentikan. Karena hak anak mendapatkan pendidikan itu menjadi kewajiban negara untuk memberikan, nanti mengantar jemput adalah sipir.
“Sebelum mengakhiri statemen, sekali lagi masukan saya buat Kapolres: tolong jangan lagi memberikan stigma atau edukasi yang salah kepada masyarakat dengan statemen jika anak itu dibayar, suka sama suka, lantas itu tidak dilanjutkan. Ada yang harus saya garis bawahi di sini, jika dalam tindak pidana pelakunya aadalah anak boleh dilakukan diversi, namun yang boleh diversi ialah di bawah umur jika ancaman pidananya maksimal 7 tahun penjara, maka restorasi justice ini harus dilakukan. Dan pelaku bukan seorang residivis atau pengulang perbuatan yang sama atau perbuatan pidana yang lain pernah dilakukan,” katanya.
Saran untuk negara, tegas Ipung, pihaknya menginginkan negara hadir maksimal untuk menyelamatkan dan melindungi anak Indonesia demi kepentingan terbaik anak.”Tolong segera mungkin membuat UU yang bisa diberikan pengganti penghukuman dari anak di bawah umur untuk kepada orang tuanya atau wali atau orang yang mengasuhnya. Kita bisa masuk pada pasal penelantaraan anak. Jika anak tidak bisa dihukum secara pidana badan, maka yang bisa dihukum adalah orang tuanya, wali atau orang yang mengasuhnya. ini sampai sekarang belum ada aturan yang mengatur. Jadi saya sudah berteriak dari tahun 2014. Jangan sampai kita ingin menyelematkan anak, tapi kita membebaskan orang tua melakukan perbuatan salah dalam pola asuhnya kepada anak-anaknya sampai anaknya melakukan tindakan pidana. Juga untuk Menkominfo: anak bisa melakukan perbuatan cabul atau asusila karena bebas melihat di situs dewasa atau pornogragi atau adegan orang dewasa. Ini negara harus hadir untuk memblok semua adegan atau Youtube atau film porno yang beredar secara liar di internet. Negara harus harus untuk menyelamatkan anak indonesia,” ucap Ipung. (LA-BL).