Jumat, Desember 13, 2024
BerandaDenpasarMengenyahkan Kegelapan, Repleksi dari Kisah Mochtar Kusumaatmadja

Mengenyahkan Kegelapan, Repleksi dari Kisah Mochtar Kusumaatmadja

Denpasar, LAKSARA.ID – Bapak Rektor Universitas Udayana, undangan, dan hadirin yang saya muliakan. Pertama-tama perkenankan saya mengucapkan terima kasih yang tulus kepada Panitia karena telah mengundang saya untuk berdiri di sini guna menyampaikan orasi yang mudah-mudahan ada faedahnya buat ibu, bapak sekalian.

Sesungguhnya yang diharapkan hadir memberikan orasi di hadapan hadirin sekalian adalah Bapak Menko Polhukam, Prof M Mahfud MD. Kendatipun demikian, saya sungguh merasa terhormat karena, setelah lebih dari 35 tahun menjalankan swadharma saya sebagai pengajar di kampus tercinta, Universitas Udayana, inilah buat kali pertama saya diundang untuk menyampaikan orasi di hadapan jajaran pimpinan, para guru besar, undangan dan segenap civitas akademika perguruan tinggi yang mengambil namanya dari nama raja agung keturunan Dinasti Warmadewa, Shri Darma Udayana Warmadewa (Shri Dharmmodayana Warmadewa), raja yang turut meletakkan dasar-dasar peradaban besar Bali tatkala memerintah pulau ini di akhir abad ke-10 hingga awal abad ke-11 Masehi – yang kemudian diteruskan oleh keturunannya.

Bapak Rektor, undangan, dan hadirin yang saya muliakan.

Dies natalis adalah peringatan hari lahir. Bagi Universitas Udayana, sebagai perguruan tinggi, pertanyaan mendasar dan tak pernah berakhir setiap kali dies natalis-nya datang ialah ke mana kita menuju dan sudah sampai di mana kita berjalan? Penggalan pertanyaan “ke mana kita menuju?” merujuk pada mimpi yang hendak diwujudkan, sedangkan penggalan pertanyaan “sudah sampai di mana kita berjalan?” merujuk pada evaluasi terhadap jerih payah kita dalam mewujudkan mimpi dimaksud. Dalam konteks itu, perkenankan saya mengisi orasi ini dengan memulainya dari sebuah kisah tentang seorang intelektual-akademisi cum politikus yang telah mengubah perjalanan sejarah dan wajah bangsa ini untuk selamanya – bahkan juga telah mengubah tatanan dunia, khususnya di bidang hukum laut, juga buat selamanya. Dia adalah Profesor Dr Mochtar Kusumaatmadja SH LLM (almarhum). Kisah beliau ini pernah pula saya tulis di rubrik Jendela Majalah Konstitusi, edisi Juni 2021.

Ceritera dimulai ketika Mochtar Kusumaatmadja muda menjadi pegawai di Biro Devisa Perdagangan (BDP) – Lembaga Alat-alat Pembayaran Luar Negeri (LAAPLN) di menjelang akhir tahun 1950-an. Pada saat yang hampir bersamaan, Mochtar Kusumaatmadja juga dijadikan penasihat Chairul Saleh yang saat itu menjabat sebagai Menteri Veteran (dan kemudian Menteri Perindustrian), meskipun Mochtar sendiri mengaku tidak ingat, apakah untuk itu dia menerima surat pengangkatan resmi atau tidak. Pokoknya bekerja saja. Saat itu hubungan antara Indonesia dan Belanda sedang tegang-tegangnya. Penyebabnya bersangkut-paut dengan Hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) di mana Belanda mengakui kedaulatan Indonesia atas wilayah yang sebelumnya merupakan wilayah Hindia Belanda, kecuali Irian Barat (sekarang Papua) yang statusnya akan diselesaikan dalam waktu satu tahun. Namun, hingga lewat pertengahan 1950-an itu Belanda selalu menunda-nunda penyelesaiannya. Ketegangan makin meningkat dan mengarah kepada pecahnya konfrontasi karena Belanda secara demonstratif melalulalangkan kapal-kapalnya di Laut Jawa, termasuk kapal perang yang memuat Pasukan Marinir Kerajaan Belanda (Koninklijke Marine), yang akan ditugaskan di Irian Barat. Secara hukum, tindakan Belanda tersebut tidak dapat dipersalahkan. Sebab, pada saat itu, meskipun sudah merdeka, Indonesia masih memberlakukan undang-undang buatan Belanda dalam pengaturan wilayah lautnya, yaitu Territoriale Zee en Maritime Kringen Ordonnantie 1939. Pasal 1 ayat (1) Ordonansi 1939 tersebut menyatakan, laut teritorial Indonesia lebarnya tiga mil yang diukur dari garis air rendah (laagwaterlijn) dari pulau-pulau dan bagian pulau yang merupakan bagian dari wilayah daratan (grondgebeid) Indonesia. Hal itu berarti, masing-masing pulau di Indonesia ini memiliki laut wilayahnya sendiri. Konsekuensinya, jika jarak pulau yang satu dengan yang lain lebih dari 6 mil maka di antara kedua pulau itu akan terdapat laut bebas atau laut lepas (high sea) yang tidak tunduk pada kedaulatan Indonesia. Itulah yang terjadi di Laut Jawa. Di antara batas terluar 3 mil dari Pulau Jawa dan batas terluar 3 mil dari Pulau Kalimantan membentang laut lepas. Keadaan yang sama juga berlaku di laut-laut lain yang menghubungkan pulau-pulau di Indonesia. Jadi, kapal-kapal Belanda yang lalu-lalang di Laut Jawa itu, betapa pun demonstratif dan provokatifnya, sama sekai tidak melanggar hukum yang berlaku pada saat itu. Demikian pula ketika Belanda melakukan tindakan show of force dengan mengirimkan kapal induknya, Hr. Ms. Karel Doorman, ke Irian Barat melalui Laut Jawa. Kita hanya bisa jengkel.

Bapak Rektor, undangan, dan hadirin yang terhormat.

Sesungguhnya, pada 17 Oktober 1956, Pemerintah Indonesia di bawah Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo telah membentuk Panitia Interdepartemental (INTERDEP) yang diberi mandat menyusun Rancangan Undang-Undang Laut Teritorial dan Lingkungan Maritim Indonesia untuk menggantikan Territoriale Zee en Maritime Kringen Ordonnantie 1939 tadi. Namun, hingga hingga pemerintahan Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo “jilid II” berakhir, rancangan undang-undang dimaksud belum juga berhasil disusun. Mochtar Kusumaatmadja, ahli hukum laut yang saat itu baru saja menyelesaikan masternya dari Yale University, dimasukkan sebagai anggota Panitia ini pada 1 Agustus 1957. Demonstratifnya, bahkan provokatifnya, Belanda dengan kapal-kapal perangnya yang lalu-lalang di Laut Jawa itu ditambah dengan Panitia Interdepartemental yang tak kunjung berhail menyelesaikan mandatnya rupanya membuat Menteri Veteran Chairul Saleh berang. Sang Menteri kelahiran Sawahlunto, Sumatera Barat, itu pun mendatangi kediaman Mochtar Kusumaatmadja. “Eh, Mochtar, apa kerja kalian di Panitia itu? Kok tidak hasilnya? Ini kapal perang Belanda kok mondar-mandir di Laut Jawa, apa Laut Jawa itu tidak bisa dijadikan laut pedalaman?” Dengan polosnya Mochtar Kusumaatmadja menjawab, “Tidak bisa dong. Itu bertentangan denngan hukum internasional.” Mendengar jawaban Mochtar, alih-alih mereda, Chairul Saleh yang memang terkenal sebagai tokoh nasionalis dan revolusioner itu justru berkata lebih keras lagi, “Pokoknya bikin supaya bisa. Kamu ini masih muda ngomongnya kayak apa, tidak revolusioner… Kamu harus mengubah cara berpikir. Pokoknya mesti bisa. Kecuali kalau kamu sudah ditanam, sudah ada batu nisan dengan nama kamu di atasnya, baru boleh bilang tidak bisa. You sanggup nggak?” Melihat Chairul Saleh yang begitu bersemangat, Mochtar Kusumaatmadja, yang awalnya mengaku kesal, lama-lama jadi terpengaruh dan merasa tertantang. Maka ia pun menjawab, “Baik. Begini saja. Saya kan pegawai BDP/LAAPLN. Saya tidak bisa memikirkan hal ini sambil kerja. Saya memerlukan perlop (cuti). Kalau Uda Chairul bisa mengusahakan perlop maka saya akan pergi ke Bandung dan coba-coba membuat konsep untuk menjadikan Laut Jawa itu laut pedalaman.” Chairul Saleh rupanya benar-benar serius. Ia berhasil memintakan cuti dimaksud. Maka berangkatlah Mochtar Kusumaatmadja ke Bandung.

Bapak Rektor, undangan, dan hadirin yang terhormat.

Singkat kisah, di Bandunglah Mochtar Kusumaatmadja mengerahkan segenap pengetahuan, kecerdasan, dan intelektualitasnya. Hal yang menjadi kegelisahannya bukan sekadar bagaimana menjadikan perairan atau laut di antara pulau-pulau di Indonesia itu sebagai laut pendalaman (internal waters), sehingga laut itu tidak lagi berstatus laut lepas tetapi tunduk pada kedaulatan Indonesia, melainkan kecemasannya sebagai seorang nasionalis perihal cara berpikir orang-orang yang mendiami pulau-pulau di nusantara itu. Ia berpikir, adanya ketentuan lebar laut wilayah tiga mil untuk masing-masing pulau, yang berarti di antara pulau-pulau itu ada laut bebas, membuat orang-orang Indonesia yang tinggal di pulau-pulau yang berbeda cenderung mengidentifikasikan diri bukan sebagai orang Indoensia melainkan sebagai orang Jawa, orang Sumatera, orang Maluku, orang Sulawesi, dan seterusnya, sesuai dengan tempat kediamannya, karena setiap pulau mempunyai lautnya sendiri. Jadi, di sini laut justru menjadi pemisah, bukan sebagai penghubung orang-orang Indonesia yang berdiam di pulau-pulau itu. Cara pandang ini yang harus diubah. Laut bukan lagi dipandang memisahkan (sebagaimana cara berpikir yang ditanamkan oleh penguasa kolonial Belanda) melainkan justru menyatukan. Dengan cara pandang baru itu perasaan keindonesiaan akan makin terbangun.

Inilah dasar pemikiran utama Mochtar Kusumaatmadja yang melandasi kelahiran magnum opus-nya, karya besarnya, Konsepsi Wawasan Nusantara. Namun, untuk sampai ke sana sama sekali bukan perjalanan yang mudah, baik secara intelektual-akademik maupun politik. Secara intelektual-akademik, untuk menghapuskan konsepsi laut wilayah tiga mil saja dibutuhkan argumentasi kuat, khususnya pandangan ahli dan preseden berupa praktik negara-negara. Dari bacaannya yang luas, Mochtar Kusumaatmadja mengetahui kalau batas lebar laut wilayah tiga mil, saat itu, tidak lagi sepenuhnya berlaku sebagai “a generally accepted rule of international law.” Salah satu buktinya, pada Konferensi Kodifikasi yang diselenggarakan oleh Volkenbond (Liga Bangsa-Bangsa) di Den Haag (The Hague) 1930, dari 37 negara peserta, hanya 9 negara yang masih mempertahankan batas laut wilayah tiga mil. Bukti lain, walaupun International Law Commission (ILC), yang dibentuk berdasarkan Resolusi Majelis Umum PBB 21 November 1947 dan beranggotakan 15 ahli hukum terkenal yang diakui kompetensinya dalam hukum internasional, dalam sidangnya tahun 1949 masih berpendapat bahwa pelebaran laut wilayah tidak boleh sampai 12 mil, praktik negara-negara pada saat itu menunjukkan penetapan lebar laut wilayah mereka antara 3 sampai dengan 12 mil. Hingga di sana, Mochtar Kusumaatmadja merasa mendapat cukup keberanian (dan argumentasi) untuk menetapkan lebar laut wilayah 12 mil.

Persoalan berikut yang tidak kalah peliknya ialah pertanyaan perihal dari mana dan bagaimana  cara mengukur lebar 12 mil itu? Dalam hal ini, Mochtar ingat dengan putusan Mahkamah Internasional (International Court of Justice) tahun 1951 dalam sengketa perikanan yang melibatkan Inggris dan Norwegia, Anglo-Norwegian Fisheries Case. Dalam putusan itu, Mahkamah Internasional menerima cara penetapan garis pangkal yang dinamakan garis pangkal lurus (straight baseline) yang ditarik dari ujung ke ujung yang menghubungkan titik-titik terluar kepulauan lepas pantai suatu negara. Dari garis pangkal itulah titik pangkal penarikan lebar laut wilayah dimulai. Meskipun cara tersebut diberlakukan untuk kepulauan lepas pantai, bukan untuk negara kepulauan (yang saat itu belum dikenal konsepsinya), Mochtar Kusumaatmadja menggunakannya untuk konsepsi negara kepulauan Indonesia.

Sementara itu, selain putusan Mahkamah Internasinal di atas, Mochtar Kusumaatmadja juga ingat bahwa pada 7 Maret 1955 Filipina pernah melakukan klaim sepihak (unilateral claim) dengan mengirimkan note verbale kepada Sekjen PBB dan pada 20 Januari 1956 kepada International Law Commission. Kedua note verbale itu isinya sama yaitu, antara lain, Filipina menyatakan bahwa semua perairan di antara dan yang menghubungkan pulau-pulau dari kepulauan Filipina berada di bawah kedaulatan Filipina.

Bapak Rektor, undangan, dan hadirin yang saya muliakan.

Gagasan Mochtar Kusumaatmadja tentang negara kepulauan atau Wawasan Nusantara tersebut dibawa ke rapat Panitia INTERDEP dan akhirnya kemudian untuk dijadikan laporan sekaligus rekomendasi Panitia INTERDEP kepada Perdana Menteri H.R. Djuanda Kartawidjaja, perdana menteri pengganti Ali Sastroamidjojo. Akhir ceritera, kita semua tahu, gagasan Mochtar Kusumaatmadja ini, oleh Perdana Menteri Djuanda, lalu dituangkan ke dalam sebuah deklarasi yang kemudian dikenal sebagai Deklarasi 13 Desember 1957 atau Deklarasi Djuanda – yang nama resminya adalah “Pengumuman Pemerintah Mengenai Wilayah Perairan Negara Republik Indonesia.” Ada empat hal mendasar yang perlu digarisbawahi dari Deklarasi ini yang sekaligus mencerminkan kejeniusan seorang Mochtar Kusumaatmadja. Pertama, deklarasi ini menegaskan bahwa secara geografis Indonesia sebagai negara kepulauan yang terdiri atas ribuan pulau memiliki corak tersendiri. Demi keutuhan teritorial dan untuk melindungi kekayaan alamnya maka seluruh kepulauan Indonesia dan laut yang terletak di antaranya harus dipandang sebagai satu kesatuan yang bulat. Karena itu, penentuan batas laut teritorial sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 ayat (1) Territoriale Zee en Maritime Kringen Ordonnantie 1939 (Staatsblad 1939 No. 442) tidak sesuai lagi sebab ordonansi ini membagi wilayah daratan Indonesia ke dalam bagian-bagian yang terpisah dan memiliki laut teritorialnya sendiri-sendiri.

            Kedua, berdasarkan pertimbangan tadi, deklarasi lantas masuk kepada poin utamanya yaitu bahwa segala perairan di sekitar, di antara, dan yang menghubungkan pulau-pulau yang termasuk Negara Indonesia, tanpa memandang luas atau lebarnya, adalah bagian-bagian yang wajar dari wilayah daratan Indonesia dan karenanya merupakan bagian dari perairan nasional Indonesia dan berada di bawah kedaulatan mutlak Indonesia. Konsekuensi mendasar dari poin ini ialah bahwa perairan atau laut yang berada di antara atau yang menghubungkan pulau-pulau Indonesia, yang sebelumnya terdapat laut lepas atau laut bebas, melalui deklarasi ini berubah (tepatnya diklaim) menjadi perairan pedalaman (internal waters).

            Ketiga, deklarasi menyatakan bahwa lalu lintas damai (innocent passage) kapal asing di perairan pedalaman Indonesia dijamin selama dan sekadar tidak bertentangan dengan kedaulatan dan keselamatan Indonesia. Poin ini adalah semacam “imbalan” sekaligus jaminan Indonesia kepada negara-negara yang kapal-kapalnya selama ini secara bebas melakukan pelayaran melalui laut yang mulanya merupakan laut lepas (sehingga tidak tunduk kepada kedaulatan negara mana pun) dan kini berubah menjadi perairan pedalaman Indonesia. Dengan kata lain, pesan yang hendak disampaikan melalui poin ini ialah bahwa negara-negara tersebut tidak perlu khawatir jika kapal-kapalnya melintas di perairan pedalaman Indonesia sepanjang dalam pelayarannya mereka benar-benar mematuhi ketentuan hak lintas damai (right of innocent passage).

            Keempat, deklarasi juga memuat hal mendasar lainnya yaitu lebar laut teritorial dan cara mengukurnya. Dikatakan bahwa batas laut terirorial adalah 12 mil dan diukur dari garis yang menghubungkan titik-titik terluar dari pulau-pulau terluar Indonesia. Cara penarikan garis pangkal ini dikenal dengan nama metode garis pangkal lurus (straight base line method). Sebagaimana telah disinggung di atas, sebelum digunakan lewat deklrasi ini, cara penarikan garis pangkal demikian telah diakui dan dikukuhkan melalui putusan Mahkamah Internasional yang terkenal, yaitu dalam sengketa perikanan antara Inggris dan Norwegia (Anglo-Norwegian Fisheries Case) tahun 1951 – meskipun bukan untuk negara kepulauan. Mochtar Kusumaatmadja “meminjamnya” guna menguatkan argumentasinya bagi konsepsi negara kepulauan.

Berselang sehari setelah Deklarasi tersebut dimuat di berbagai koran, negara-negara besar, antara lain, Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Australia, Jerman, Jepang, dan tentu saja Belanda mengajukan protes keras dan penentangannya. Mochtar Kusumaatmadja menceriterakan, “Saya kaget. Saya merasa bahwa ini perbuatan saya, seluruh dunia geger melawan Republik kita. Saya  sambil koran-koran tersebut dan buru-buru pagi-pagi pergi ke rumah Chairul Saleh di Jalan Lombok 23 Menteng, Jakarta. ‘Ada apa’, katanya. ‘Sudah baca koran’, tanya saya sambil memperlihatkan surat kabar. ‘Apa, ada apa dengan koran?’ katanya. Mochtar kemudian mengatakan, “Ini, baca koran. Semua negara protes.” Rasanya, langit ini seperti runtuh, kata Mochtar. Bukannya kaget, Chairul Saleh malah berkata, ‘O, mereka protes ya? Kalau negara-negara besar imperealis itu protes artinya kita berada di jalan yang benar.’

Bapak Rektor, undangan, dan hadirin yang saya muliakan.

Kita bersyukur, Indonesia tidak gentar menghadapi protes dan penentangan negara-negara besar tersebut. Bukan hanya tidak gentar, menyusul Deklarasi Djuanda, Pemerintah Indonesia justru memperkuatnya dengan mengundangkan Undang-Undang Nomor 4/Prp/1960 tentang Perairan Indonesia. Sikap Indonesia sebagaimana tercermin dalam Deklarasi Djuanda dan Undang-Undang Nomor 4/Prp/1960 tersebut selanjutnya dijadikan pedoman perjuangan tak kenal lelah Indonesia selama seperempat abad dalam diplomasi internasional di bidang hukum laut sampai kemudian Wawasan Nusantara atau konsepsi negara kepulauan (archipelagic state) itu diterima dalam Konvensi Hukum Laut PBB 1982 (United Nation Convention on the Law of the Sea). Bersamaan dengan diterima konsepsi negara kepulauan atau archipelagic state itu, diterima pula oleh Konvensi Hukum Laut PBB konsepsi-konsepsi lain yang berkait erat dengan konsepsi negara kepulauan seperti konsepsi perairan kepulauan (archipelagic waters), hak lintas alur laut kepulauan (right of archipelagic sea-lane passage), untuk menyebut beberapa contoh, yang saat ini bukan lagi sekadar konsepsi melainkan telah menjadi ketentuan hukum internasional positif (de lege lata). Karena itu, tidak berlebihan jika Damos Dumoli Agusman, Duta Besar dan Berkuasa Penuh Republik Indonesia untuk Republik Austria, Slovenia, dan Organisasi Internasional, mengatakan bahwa, melalui Mochtar Kusumaatmadja, Indonesia telah menciptakan hukum internasional. Melalui Mochtar Kusumaatmadja pula, Indonesia membuktikan bahwa inisiatif untuk mengubah dunia tidak selalu harus berjalan satu arah dan tidak selalu merupakan “jatah” negara-negara maju melainkan proses dialektik dua arah. Sampai di sini, saya jadi teringat ucapan Mehmet Murat Ildan, sastrawan penulis naskah drama dari Turki, “You may live in an unknown small village, but if you have big ideas, the world will find you” (Anda bisa saja tinggal di sebuah kampung kecil yang tak dikenal, namun jika anda memiliki gagasan-gagasan hebat, dunia akan menemukan anda).

Bapak Rektor, undangan, dan hadirin yang saya muliakan.

Poin yang hendak saya sampaikan melalui kisah yang pemaparannya cukup memakan waktu di atas bukanlah sekadar agar kita tidak lupa jasa besar seorang Mochtar Kusumaatmadja melainkan ada kaitannya dengan tema peringatan Dies Natalis Universitas Udayana ke-61 ini, “Membangun sinergi, menciptakan prestasi.”

Mochtar Kusumaatmadja adalah sosok pemikir yang lahir dari tradisi akademik universitas. Misi utama universitas adalah mengenyahkan kegelapan. Itulah yang diajarkan oleh sejarah kepada kita ketika di sekitar tahun 1088 sekumpulan studiorum, kaum terpelajar, mendirikan Universitá di Bologna alias Universitas Bologna yang berlokasi di region Emilia-Romana, Italia. Inilah perguruan tinggi pertama yang menggunakan terminologi “universitas” untuk proses kegiatan belajar-mengajar antara dosen dan mahasiswanya. Universitas Bologna hadir sebagai perguruan tinggi pertama yang menandai mulai berakhirnya kegelapan panjang di Eropa belahan barat pasca runtuhnya Kekaisaran Romawi. Begitu panjangnya kegelapan itu, yaitu mencapai rentang waktu 500 (lima ratus) tahun, dari tahun 400 hingga 900 sesudah Masehi, sehingga disebut “Abad Kegelapan” (Dark Age). Penyebabnya tidak lain adalah hilangnya tradisi belajar. Hilangnya tradisi belajar tersebut menyebabkan seluruh pengetahuan yang dihasilkan oleh peradaban besar sebelumnya, yaitu peradaban Yunani dan Romawi, musnah nyaris tak berbekas – kecuali yang sedikit masih bisa diselamatkan di biara-biara atau katedral-katedral. Dalam kegelapan demikian orang lebih percaya kepada (dan hidup bersama) gosip tinimbang pengetahuan. Sementara itu, secara sosial, dampak dari kegelapan demikian ialah berkembangnya sistem feodal – yaitu sistem sosial yang terbentuk oleh dan dalam kelas-kelas sosial: bangsawan, agamawan, dan budak.

Titik awal kebangkitan Eropa Barat untuk keluar dari kegelapan terjadi tatkala, pada kira-kira abad ke-12, beberapa gelintir orang yang mendapatkan pendidikan hukum dan mengabdi kepada raja mulai tertarik untuk mempelajari dan mendalami kembali pemikiran-pemikiran para cendekia dari era kebesaran Yunani dan Romawi, khususnya karya-karya Aristoteles dan Kode Yustinianus (Code of Justinian), yang tiada lain adalah kumpulan teori hukum dari Abad ke-6 Masehi yang disusun atas perintah Kaisar Yustinianus dari Kekaisaran Byzantium yang dinamakan Corpus Iuris Civilis. Ini kemudian mendorong terjadinya kegairahan untuk memikirkan tatanan kenegaraan modern yang dimulai dengan mendalami studi hukum. Universitas Bologna adalah bagian dari kegairahan baru itu. Maka tidak mengherankan kalau semboyan atau mottonya berbunyi “Petrus ubique pater legum Bononia mater” (St. Peter is everywhere the father of law, Bologna is its mother) yang jika diterjemahkan secara bebas berarti “Santo Petrus adalah ayah hukum di manapun, sedangkan Bologna adalah ibunya. Namun, anehnya, tokoh-tokoh besar yang dilahirkan olehnya justru para pencerah non hukum, seperi Dante Alighieri (penyair dan filsuf Itali dari Abad ke-14), Erasmus (cendekiawan dan filsuf besar Belanda), Nicolaus Copernicus (matematikawan sekaligus astronom dengan teori masyurnya yang menempatkan matahari sebagai pusat tata surya), Lazzaro Spallanzani (fisiolog dan penemu Teori Generasi Spontan atau Spontaneus Generation dalam biologi), dan lain-lain.

Karena itu, dalam tengara saya, dengan berkaca dari sejarah di atas, bukanlah suatu kebetulan jika Universitas Udayana mengidealkan untuk memberikan “Widya Mahamerta” sebagai “Pusaka” kepada anak-anak didiknya. Widya (Vidhya) tiada lain adalah “ibu pengetahuan dan kebenaran.” Adakah “pusaka” yang lebih mulia sehingga bisa disebut Mahamerta selain Widya (Vidhya) alias ibu pengetahuan dan kebenaran? Maka, dengan “Pusaka” itulah Universitas Udayana hendak menugaskan misi suci memerangi dan mengusir kegelapan kepada anak-anak didiknya – seperti yang dicontohkan oleh Universitá di Bologna.

Di sinilah sinergi menjadi keniscayaan. Misi universitas mengenyahkan kegelapan yang ditandai kemampuan melahirkan sosok-sosok pencerah masyarakat, bangsa, dan negara, seperti Mochtar Kusumaatmadja, tak mungkin diwujudkan tanpa adanya sinergi berbagai komponen. Sinergi antara visi universitas dan pengejawantahannya dalam misi serta langkah-langkah konkretnya dalam program aksi di ranah empirik. Sinergi antara “mimpi” pimpinan universitas dan “tangkapan” pimpinan fakultas atas mimpi itu sehingga lahir satu kesatuan langkah yang solid. Bahkan juga, jika bukan terutama, sinergi dengan kebijakan Pemerintah. Karena itu, jika kebijakan pemerintah, di bidang pendidikan tinggi khususnya, misalnya yang berkenaan tugas pokok dosen, lebih menekankan pada terbangunnya kerapian administrasi parameter kinerja para dosen – yang ironisnya acapkali tidak bersangkut-paut dengan penghargaan finansial dosen yang bersangkutan – maka, percayalah, sistem itu hanya akan melahirkan dosen-dosen lebih tertarik untuk mengurus dirinya sendiri tinimbang melakukan dialektika model “taman akademos” dengan mahasiswanya dalam proses belajar ala Akademia Plato, yang seharusnya menjadi karakter perguruan tinggi atau universitas. Invensi tidak lagi menjadi obsesi dan digantikan oleh target-target administratif pemenuhan syarat beban kerja yang harus senantiasa tersusun rapi dan selalu dibayang-bayangi oleh ancaman ini itu. Akan adakah sosok fenomenal yang lahir dari kebijakan dan habitat macam itu? Mungkin ada namun itu hanya akan berupa pengecualian, sesuatu yang eksepsional, bukan konsekuensi rasional yang lahir dari solidnya sinergi dari hulu hingga hilir.

Bapak Rektor, undangan, dan hadirin yang saya muliakan.

Jika kita meyakini misi utama universitas adalah mengenyahkan kegelapan dan “senjata” untuk mengenyahkan kegelapan itu adalah “pusaka” yang bernama widya, ibu segala pengetahuan dan kebenaran, maka, bagi insan universitas, jalan pembuka untuk mengerjakan misi itu adalah menyingkirkan rasa takut.

Karena itu, saya ingin menutup orasi ini dengan mengutip ucapan William C. Faulkner, penerima Nobel Sastra 1949, “Never be afraid to raise your voice for honesty and truth and compassion against injustice and lying and greed. If people all over the world … would do this, it would change the earth” (Jangan takut untuk mengangkat suaramu bagi kejujuran dan kebenaran dan perasaan haru untuk melawan ketidakadilan dan dusta dan ketamakan. Jika orang-orang di seluruh dunia … mau melakukannya, hal itu akan mengubah dunia). Sekian. Terima kasih. (LA-Yog)

Sumber: www.unud.ac.id


RELATED ARTICLES

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Most Popular

Recent Comments