Nusa Penida, Laksara.id – Langkah Pemerintah Kabupaten Klungkung untuk melakukan penataan di wilayah pantai Nusa Penida, sesungguhnya mendapat dukungan penuh dari warga. Penduduk setempat mengharapkan dengan adanya penataan ini, kawasan Nusa Penida menjadi destinasi wisata yang lebih menawan.
Akan tetapi, belakangan pihak pemerintah daerah menyebutkan, langkah penataan wilayah itu dilakukan setelah kawasan sempadan pantai disertifikatkan terlebih dahulu. Pihak Pemkab Klungkung mewacanakan akan menyertifikatkan tanah negara yang berada di sepanjang sempadan pantai mulai dari Banjar Nyuh sampai ke Banjar Sental, Desa Ped. Dalihnya, penataan tidak mungkin dilakukan jika tidak didahului dengan upaya penyertifikatan sempadan pantai.
Menyikapi itu, warga desa setempat mulai timbul kegelisahan, khawatir setelah disertifikatkan atas nama Pemkab Klungkung, keleluasaan gerak masyarakat utamanya dalam kepentingan adat dan agama, menjadi terbatas.
“Bukankah fasum-fasum yang ada di seluruh Bali yang sudah ditata dan dimanfaatkan oleh pemerintah dan umum tidak satupun ada yang disertifikatkan oleh pemerintah? Kalau hanya sekedar untuk menata, coba lihat jalan yang ada di sepanjang smepadan Pantai Sanur dari Padanggalak sampai Matahari Terbit, apakah itu ada disertifikatkan atas nama pemda? Saya rasa tidak! Dan lihat coba jalan bypas yang begitu lebar, yang diaspal di seluruh Bali oleh pemerintah, apakah harus disertifikatkan terlebih dahulu sebelum diaspal ? Saya rasa juga tidak,” kata Jro Mangku Ketut Cinta, Pemangku di Banjar Sental, Desa Ped, Nusa Penida, Klungkung, Sabtu (16/11).
Jro Mangku Cinta menilai upaya penyertifikatan tanah negara yang ada di sempadan pantai mulai dari Banjar Nyuh sampai ke Banjar Sental menjadi atas nama Pemkab Klungkung, sangat berlebihan.
Masalahnya, lanjut dia, tidak mesti harus disertifikatkan atas nama Pemkab, karena pada dasarnya tanah negara di sempadan pantai sudah secara otomatis merupakan lahan fasilitas umum (fasum) bagi masyarakat di sekitarnya, dan bahkan sudah diatur undang-undang.
“Kita bisa lihat, hampir semua fasum yang selama ini ditata oleh pemerintah di seluruh Bali, tidak satupun yang kemudian harus disertifikatkan atas nama pemerintah. Sebagai contoh, lahan kosong di kiri kanan Jalan Bay Pass Prof Mantra yang puluhan kilometer panjangnya, tidak dibuatkan sertifikatnya atas nama Pemprov Bali, misalnya,” kata Jro Mangku Cinta.
Semua fasum, kata Jro Mangku Cinta, selama ini cukup hanya diberi tanda dan dikukuhkan sebagai lahan untuk kepentingan umum, tanpa harus dinyatakan atau dicatat dalam bentuk sertifikat.
Menurut tokoh spiritual yang banyak memimpin upacara keagamaan di daerahnya itu, upaya menyertifikatkan tanah negara menjadi milik Pemkab adalah tidak baik buat masa depan generasi desa adat di bumi desa adat Nusa Penida.
Sehubungan dengan itu, Jro Mangku Cinta mengingatkan, tolong berpikir jauh ke depan ketimbang hanya memikirkan yang enak-enak pada hari ini saja.
Nusa Penida adalah sebuah pulau yang cukup sempit, sementara jumlah penduduk pasti akan bertambah banyak, apalagi dengan Program KB Bali yang kini menjadi 4 anak. Dengan begitu, katanya, sangat perlu adanya fasum milik desa adat atau banjar adat yang bisa penampung kepentingan warganya.
Dengan demikian, pada gilirannya desa adat bisa lebih kuat perannya dalam mengayomi masyarakat adat, di mana selama ini mereka begitu banyak punya ‘tetegenan’ dan ‘ayah-ayahan’, termasuk kewajiban dalam melestarikan seni dan budaya Bali.
“Untuk ‘ayah-ayahan’ saja, warga adat sudah punya kewajiban untuk melakukan segala kepentingan di pura, mulai dari upacara di Merajan Kawitan, Pura Segara, Pura Dalem, Pura Puseh, Pura Desa, sampai ke Pura Kahyangan Jagat dan Pura Dang Khayangan,” ujarnya.
Dia melanjutkan, pihaknya menyatakan bahwa pihak terkait hendaknya memahami perbedaan Pemda dangan desa adat. Bahwa Pemda adalah pemerintahan yang berdasar perundang-undangan Negara Kesatuan Republik Indonesia, di mana setiap warga yang ber-KTP Klungkung punya hak yang sama terhadap aset Pemda dan fasilitas milik Pemda lainnya. Artinya, orang Muslim yang ber-KTP Klungkung punya hak yang sama pada aset Pemda Klungkung punya hak juga terhadap tanah Pemda Klungkung. Begitu pula umat Kristen yang ber-KTP Klungkung, punya hak yang sama dengan aset Pemda Klungkung, serta umat Katolik yang ber-KTP Klungkung punya hak yang sama pada aset Pemda Klungkung. Orang yang beragama Budha yang ber-KTP Klungkung juga punya hak yang sama terhadap tanah Pemda Klungkung.
Itu artinya, katanya, akan membuat wilayah dan buminya warga Nusa Penida atau warga Desa Adat Nusa Penida akan makin sempit. Nusa Penida yang sudah sempit, yang pulaunya sudah terbilang kecil akan jadi makin sempit lagi. Bumi berpijak warga asli Nusa Penida dihuni banyak orang, padahal warga Nusa Penida memiliki ‘tetegenan’ atau ‘ayah-ayahan’ yang diamanahkan oleh leluhur yang harus dirawat dan dipertanggungjawabkan secara terus-menerus tidak boleh terputus. Dalam keadaan apapun, pura harus tetap dirawat dan diupakarai atau ‘dihaturin’ piodalan tiap pujawali dan dirawat terus-menerus.
“Sedangkan tempat berpijak dan lahan fasum di wilayah kami akan diambil Pemda untuk menjadi milik semua umat yang ada di Klungkung. Tanah berpijak kami warga Nusa Penida dijadikan lahannya semua umat yang ada Klungkung diberi kesempatan ikut punya hak yang sama, sedangkan kewajiban bertanggung jawab pada tetegenan lan ayah-ayahan dese adat tetap kami yang tanggung selamanya,” ujar Mangku Ketut Cinta.
Menurut dia, penekanan dan harapannya ialah jangan dilakukan langkah-langkah menyertifikatan tanah-tanah negara yang ada di Nusa Penida menjadi atas nama Pemda. “Hal ini sama saja dengan merampok bumi berpijak masyarakat Nusa Penida dan merampok bumi berteduh kami. Tolong jangan persempit lagi tanah kami di pulau kami tercinta Nusa Penida,” katanya. (LA-010)