Nusa Penida, Laksara.id – Warga Desa Ped Kepulauan Nusa Penida, Kabupaten Klungkung, Bali menolak adanya rencana Pemkab Klungkung menyertifikatkan tanah negara yang ada di wilayah mereka.
Sebelumnya, pihak Pemkab Klungkung mewacanakan akan menyertifikatkan tanah negara yang berada di sepanjang sempadan pantai mulai dari Banjar Nyuh sampai ke Banjar Sental, Desa Ped.
Menyikapi itu, warga desa setempat mulai timbul kegelisahan, khawatir setelah disertifikatkan atas nama Pemkab Klungkung, keleluasaan gerak masyarakat utamanya dalam kepentingan adat dan agama, menjadi terbatas.
“Jangan-jangan nanti setelah menjadi milik Pemkab, kami yang akan melakukan upacara melasti di Pantai Nyuh atau Pantai Sental, harus terlebih dahulu memperoleh izin dari pemerintah,” kata Jro Mangku Ketut Cinta, Pemangku di Banjar Sental, Desa Ped, Nusa Penida, Klungkung, Jumat (15/11).
Jro Mangku Cinta menilai upaya penyertifikatan tanah negara yang ada di sempadan pantai mulai dari Banjar Nyuh sampai ke Banjar Sental menjadi atas nama Pemkab Klungkung, sangat berlebihan.
Masalahnya, lanjut dia, tidak mesti harus disertifikatkan atas nama Pemkab, karena pada dasarnya tanah negara di sempadan pantai sudah secara otomatis merupakan lahan fasilitas umum (fasum) bagi masyarakat di sekitarnya, dan bahkan sudah diatur undang-undang.
“Kita bisa lihat, hampir semua fasum yang selama ini ditata oleh pemerintah di seluruh Bali, tidak satupun yang kemudian harus disertifikatkan atas nama pemerintah. Sebagai contoh, lahan kosong di kiri kanan Jalan Bay Pass Prof Mantra yang puluhan kilometer panjangnya, tidak dibuatkan sertifikatnya atas nama Pemprov Bali, misalnya,” kata Jro Mangku Cinta.
Semua fasum, kata Jro Mangku Cinta, selama ini cukup hanya diberi tanda dan dikukuhkan sebagai lahan untuk kepentingan umum, tanpa harus dinyatakan atau dicatat dalam bentuk sertifikat.
Menurut tokoh spiritual yang banyak memimpin upacara keagamaan di daerahnya itu, upaya mensertifikatkan tanah negara menjadi milik Pemkab adalah tidak baik buat masa depan generasi desa adat di bumi desa adat Nusa Penida.
Sehubungan dengan itu, Jro Mangku Cinta mengingatkan, tolong berpikir jauh ke depan ketimbang hanya memikirkan yang enak-enak pada hari ini saja.
Nusa Penida adalah sebuah pulau yang cukup sempit, sementara jumlah penduduk pasti akan bertambah banyak, apalagi dengan Program KB Bali yang kini menjadi 4 anak. Dengan begitu, katanya, sangat perlu adanya fasum milik desa adat atau banjar adat yang bisa penampung kepentingan warganya.
Dengan demikian, pada gilirannya desa adat bisa lebih kuat perannya dalam mengayomi masyarakat adat, di mana selama ini mereka begitu banyak punya ‘tetegenan’ dan ‘ayah-ayahan’, termasuk kewajiban dalam melestarikan seni dan budaya Bali.
“Untuk ‘ayah-ayahan’ saja, warga adat sudah punya kewajiban untuk melakukan segala kepentingan di pura, mulai dari upacara di Merajan Kawitan, Pura Segara, Pura Dalem, Pura Puseh, Pura Desa, sampai ke Pura Kahyangan Jagat dan Pura Dang Khayangan,” ujarnya.
Dia melanjutkan, pihaknya menyatakan bahwa pihak terkait hendaknya memahami perbedaan Pemda dangan desa adat. Bahwa Pemda adalah pemerintahan yang berdasar perundang-undangan Negara Kesatuan Republik Indonesia, di mana setiap warga yang ber-KTP Klungkung punya hak yang sama terhadap aset Pemda dan fasilitas milik Pemda lainnya. Artinya, orang Muslim yang ber-KTP Klungkung punya hak yang sama pada aset Pemda Klungkung punya hak juga terhadap tanah Pemda Klungkung. Begitu pula umat Kristen yang ber-KTP Klungkung, punya hak yang sama dengan aset Pemda Klungkung, serta umat Katolik yang ber-KTP Klungkung punya hak yang sama pada aset Pemda Klungkung. Orang yang beragama Budha yang ber-KTP Klungkung juga punya hak yang sama terhadap tanah Pemda Klungkung.
Itu artinya, katanya, akan membuat wilayah dan buminya warga Nusa Penida atau warga Desa Adat Nusa Penida akan makin sempit. Nusa Penida yang sudah sempit, yang pulaunya sudah terbilang kecil akan jadi makin sempit lagi. Bumi berpijak warga asli Nusa Penida dihuni banyak orang, padahal warga Nusa Penida memiliki ‘tetegenan’ atau ‘ayah-ayahan’ yang diamanahkan oleh leluhur yang harus dirawat dan dipertanggungjawabkan secara terus-menerus tidak boleh terputus. Dalam keadaan apapun, pura harus tetap dirawat dan diupakarai atau ‘dihaturin’ piodalan tiap pujawali dan dirawat terus-menerus.
“Sedangkan tempat berpijak dan lahan fasum di wilayah kami akan diambil Pemda untuk menjadi milik semua umat yang ada di Klungkung. Tanah berpijak kami warga Nusa Penida dijadikan lahannya semua umat yang ada Klungkung diberi kesempatan ikut punya hak yang sama, sedangkan kewajiban bertanggung jawab pada tetegenan lan ayah-ayahan dese adat tetap kami yang tanggung selamanya,” ujar Mangku Ketut Cinta.
Ke depan, ujarnya, seiring pesat nya kemajuan pariwisata di Nusa Penida pendatang tentunya akan makin ramai dan tentu saja tidak menutup kemungkinan jika dibiarkan maka tanah negara di seputaran Nusa Penida disertifikatkan oleh Pemda menjadi atas nama Pemda. Hal ini bisa memicu warga asli Nusa Penida akan transmigrasi karena tidak ada fasum untuk pekarangan lagi.
Sementara, orang luar akan terus berbondong-bondong masuk Nusa Penida awalnya untuk mencari kerja seperti kota Denpasar, lama-lama mereka makin banyak jumlahnya dan penduduk asli Nusa Penida pasti akan kalah dalam bersaing kerja dengan warga pendatang luar. Akhirnya warga asli Nusa Penida merantau keluar dan warga pendatang akan makin ramai kerja di Nusa Penida dan mereka betah di Nusa Penida, akhirnya justru pendatang akan ber-KTP Nusa Penida Klungkung. Bahkan tidak menutup kemungkinan, selanjutnya jumlah umat lain akan lebih banyak dan lama-lama kemungkinan bisa umat lain jadi Bupati Klungkung dan staf bupatinya kelak kemungkinan kebanyakan umat lain yang duduk di dinas-dinas pemerintahan yang menjadi jajaran bupati yang menduduki jabatan pada dinas terkait.
“Maka kita akan mengalami kesulitan untuk melintasi tanah Pemda. Bahkan untuk melasti ke pantai pun akan sulit harus ngurus izin lagi ke Pemda, untuk melasti ke laut yang melintasi tanah milik Pemda. Seperti contoh kegiatan keagamaan melasti melewati sepadan pantai tanah Pemda, terus kalau mau melasti harus mencari izin sama bupati dan dinas terkait. Terus kalau bupatinya baik, ya mungkin mudah dapat izin melewati tanah Pemda buat kegiatan upacara melasti, tapi bagaimana jika bupatinya orang tidak baik, maka di situlah warga Nusa Penida akan makin terhimpit. Jangan-jangan umat lain jadi Bupati Klungkung, ya sudah pasti akan repot melintasi tanah Pemda untuk kepentingan agama Hindu. Malah walaupun bupatinya orang Bali, jika sifat bupatinya buruk sudah pasti besok mau melintasi sepadan pantai tanah Pemda akan dipersulit untuk bisa melintasi tanah Pemda itu. Belum lagi kalau bupati dan dinas terkait itu rakus, misalnya ya bisa jadi mau melintas bayar sekian kan repot kita seperti terjajah di tanah kelahiran sendiri. Apakah itu tidak akan mengubur masa depan warga asli Nusa Penida, apakah itu tidak berpotensi bisa mengubur agama dan tradisi kita?,” ujarnya mempertanyakan.
Mangku Ketut Cinta menegaskan, atas dasar pemikiran itu pihaknya berpendapat bahwa demi kuatnya desa adat dan banjar adat maka tanah-tanah negara yang ada di seluruh Nusa Penida serta tanah sempadan pantai di seluruh Nusa Penida harus dimiliki oleh Desa Adat serta di kelola oleh Desa Adat atau Banjar Adat ,nanti kalau Pemda memiliki perencanaan ingin menata sepadan pantai biar asri dan cantik bersih menawan seyogyanya pemda membuatkan perencanaan itu dan mengintruksikan kepada Desa Adat yang mengelola tanah negara dan sepadan pantai itu untuk mematuhinya dan sebagai warga negara yang baik selama program yang di intruksikan pemda untuk menata semua sepadan pantai biar bersih cantik menawan untuk bisa menarik minat wisatawan berkunjung ke Nusa Penida demi kesejahteraan Nusa Penida selama itu untuk kebaikan desa adat dan banjar adat tinggal intruksikan pada Desa Adat dan Banjar Adat untuk wajib dipatuhi dan dilaksanakan.
“Penekanan dan harapan kami, jangan dilakukan langkah-langkah menyertifikatkan tanah-tanah negara yang ada di Nusa Penida menjadi atas nama Pemda. Hal ini sama saja dengan merampok bumi berpijak masyarakat Nusa Penida dan merampok bumi berteduh kami. Tolong jangan persempit lagi tanah kami di pulau kami tercinta Nusa Penida,” pintanya menegaskan. (LA-010)