Singaraja, Laksara Puisi Indonesia di Bali diyakini muncul pertama kali di Singaraja, Kabupaten Buleleng, pada 1 Januari 1925, yakni sebuah puisi berjudul “Selamat Tahun Baru untuk Bali Adnjana” karya Gd.P. Kertanadi yang dimuat di halaman pertama kalawarta (koran stensilan) Bali Adnjana.
Untuk memperingati sekaligus mengkampanyekan satu abad kelahiran puisi Indonesia di Bali itu, Komunitas Mahima menyelenggarakan acara Rabu Puisi, 1-2 Oktober 2025, di Gedung Sasana Budaya Singaraja. Acara itu berisi program seminar puisi, lokakarya puisi, diskusi puisi, baca puisi, dan pentas musikalisasi puisi.
Prof I Nyoman Darma Putra, dosen sastra dari Universitas Udayana, dalam seminar bertajuk “Singaraja Ibukota Puisi” mengatakan ada tiga puisi atau syair yang lahir tahun 1925 di Singaraja. Selain “Selamat Tahun Bbaru untuk Bali Adnjana”, ada dua puisi lain, yakni “Assalamualaikum” karya WD dimuat di kalawarta Surya Kanta dan “Ilmu” karya AWD juga dalam Surya Kanta.
Menurut Darma Putra, kalawarta Bali Adnjana dan Surya Kanta, keduanya terbit di Singaraja. Bali Adnjana dicetak stensilan dalam bentuk sangat sederhana, sedangkan Surya Kanta hadir dalam bentuk cetak modern, konon dicetak di Surabaya.
“Media massa memainkan peran penting dalam kelahiran dan kehidupan sastra di Bali zaman kolonial dan sesudahnya. Sama dengan era kemerdekaan dan bahkan sampai sekarang, media massa menjadi salah satu pilar perkembangan sastra,” kata Darma Putra dalam seminar itu, Rabu, (1/10/2025).
Darma Putra mengatakan, berdasarkan hasil pemeriksaan atas keempat majalah atau media massa yang terbit di Bali antara tahun 1925 hingga 1939 teridentifikasi sebanyak 39 judul puisi yang terbit di kalawarta Surya Kanta, Bali Adnjana, Bhawanegara, dan Djatajoe.
“Saya beruntung memiliki arsip media massa yang terbit di bali sehingga bisa mengakses publikasi karya sastra zaman kolonial di Bali,” kata Darma Putra.
Menurut Darma Putra, ciri umum dari puisi penulis Bali dari era kolonial adalah berbentuk syair, namun bukan syair dalam pengertian puisi lama. Ciri syair terletak pada persamaan bunyi akhir dan bait umumnya terdiri dari empat baris. “Dalam hal jumlah kata atau suku kata tidaklah sama dengan syair aslinya, yang biasanya sekitar empat kata atau 8-10 suku kata,” ujarnya.
Selain menyerupai syair, puisi Indonesia dari Bali dari era kolonial juga tampil dengan bentuk bebas, dalam arti sudah menyerupai puisi modern yang bebas. “Penyampaian pesan diutamakan, sementara persamaan bunyi dijadikan nomor dua,” kata Darma Putra.
Ketua Komunitas Mahima Kadek Sonia Piscayanti mengatakan program Rabu Puisi adalah program reguler di Komunitas Mahima yang diadakan pada setiap hari Rabu. Program ini, selain untuk mengingat kembali Singaraja sebagai ibukota kelahiran puisi Indonesia pertama di Bali, juga untuk membangkitkan kembali gairah perpuisian di Bali, khususnya di kota Singaraja.
Menurut Sonia, program Rabu Puisi diselenggarakan dengan format yang lebih besar dan lebih lengkap pada awal Oktober ini dengan dukungan dari Badan Bahasa Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) RI.
“Saya senang sekali membawa Rabu Puisi ke panggung yang lebuh luas, ke publik. Ini kami rancang untuk menumbuhkan kembali kesadaran puisi di Bali,” kata Sonia.
Selain seminar, Rabu Puisi juga diisi dengan acara open mic baca puisi dari Klub Rabu Puisi Komunitas Mahima, serta lokakarya penciptaan puisi yang diisi oleh penyair Pranita Dewi dan Nanoq da Kansas.
Di hari kedua, Kamis, 2 Oktober 2025, ada penampilan baca puisi dari 10 penyair muda Bali dan pertunjukan musikalisasi puisi dari tiga kota. Komunitas Mahima dari Singaraja, Komunitas Kertas Budaya dari Negara, dan Ekstase (Ekspresi Atas Sepi) dari Denpasar.
Sekretaris Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) Kabupaten Buleleng Ida Bagus Gde Surya Bharata saat memberi sambutan dalam acara pembukaan Rabu Puisi menyampaikan apresiasi yang setinggi-tingginya kepada Komunitas Mahima yang terus melakukan kegiatan untuk menumbuhkan iklim dan ekosistem sastra di Buleleng.
Menurut Surya Bharata, apa yang dilakukan Komunitas Mahima ini penting karena puisi adalah denut rasa nurani bangsa. Melalui puisi kita belajar meresapi keindahan bahasa, kehalusan budi dan kedalaman pikiran. “Tradisi sastra yang kita rawat hari ini sejatinya adalah ikhtiar untuk nanggung santya loka Bali,” ujarnya.
Di tengah arus digital yang cepat, kata Surya Bharata, kegiatan ini seperti mengingatkan kita bahwa akar budaya literasi harus terus ditanamkan agar anak-anak kita tidak terjerat dari identitas dan nilai luhur. “Kami percaya melalui kegiatan yang ada beberapa item seperti seminar, puisi, tokoh karya, pembacaan puisi, diskusi, dan pementasan, semangat literasi dan kreativitas literasi muda Buleleng alkan semakin tumbuh,” ujar Surya Bharata. (LA-IN)